Menjaga Kemuliaan Islam dan Kehormatan Kaum Muslimin

Free Space

Saturday, May 16, 2009

1. As far as the Creator (whose proper name is Allah) is concerned, you will be able to identify Him and get to know Him, His role and your relationship to His names, you will be able to communicate with Him any time, 24 hours a day, throughout the whole year. As a result of this category, you will be able to know your origin, your roots and the wisdom as to why you are on this planet. You will be able to have good answers to the questions why, how, when, where,what and other philosophical questions.

2. As a result of the first benefit, your loyalty, allegiance, and obedience will be to the Creator himself. You will transcend yourself from all types of allegiance for this world. This means that if there is a conflict of interest between your boss, your job, your government, your system or any worldly relationship with the Creator, you will undoubtedly put your trust in Allah, the Creator of the universe. You will follow Him before you follow anyone else.

3. As a result of the second benefit, you will be able to acquire peace, harmony, tranquility and happiness within yourself, with your family, with people of the world, with the environment and with the universe. One has to remember that the source of peace is Allah, and one of his beautiful names is that He is The Peace.

4. As an endorsement to the third benefit, you will get rid of the extra electrostatic charges from your brain and the central nervous system by performing the daily Salah. Through Salah, you are to prostrate by putting your forehead to the floor; and as such are grounding yourself, and you are discharging these extra charges into the ground. As a result of this act, you will get rid of many of the neurological diseases from your body.

5. As a result of the fourth benefit, you will acquire a pleasant personality. You will be friendly and amicable. You would not need to drink alcohol, to use drugs or to get involved in vulgarity or immorality.

6. Through the experience of fasting in Islam, you will be able to have self-control, self-restraint, self-discipline, self-education, self-evaluation, and self-obedience to Allah the Creator. You undoubtedly will be able to improve health, personality, character, and behavior.

7. As a result of the sixth benefit, you will be able to control your lusts, selfishness, desires, greed, ego, and conceitedness.

8. Another side reaction of the sixth and seventh benefits is that you will be generous and hospitable; you will try to purify yourself and your mistakes by sharing your happiness and your wealth with those who are less fortunate than you. Your rewards will manifold, compounded daily until the Day of Judgment.

9. By performing pilgrimage to Makkah, you will transcend yourself from being nationalistic, sectarian, or denominational into being universal. You will be part and an essential constituent of the rainbow of Islam. You will be also part of the brotherhood of Islam with those who already submitted themselves to the Creator. At the same time, you will get rid of any inferiority or superiority complexes. You will also find yourself in synchrony and harmony with all the prophets and messengers of Allah since the creation of Adam and Eve until the last final messenger to mankind, prophet Muhammad (pbuh). While in Makkah, you will be able to visit the places of revelation of the Quran as well as the places visited by prophet Abraham and members of his family such as Hagar and Ishmael. You will visit the place where the first astronauts, Adam and Eve landed on earth.

10. In becoming a Muslim, you will do your best to stop all types of exploitations in all their forms: economic, biological, mental, spiritual, psychological, political, etc.. You will also work to liberate people and give them freedom of worship, freedom of speech, and freedom of expression. You will be a leader and help lead people to peace, tranquility and happiness.

11. In accepting Islam, you will help to reduce all types of social ills in the society: juvenile delinquency, child abuse, domestic abuse, incest, homosexuality, sexual promiscuity, premarital relationships, extramarital relationships, and other vices.

12. As a result of the eleventh benefit, you will reduce and eliminate venereal diseases, AIDS, and other diseases of similar nature in the society.

13. Finally, when you die, you will die at peace. You will have a happy life in the grave and later, eternal happiness. Angels at the time of death will comfort you. They will also show you your place in paradise. On the Day of Judgment, you will be able to see and meet all the prophets and messengers of God to mankind including Noah, Abraham, Moses, Jesus, and Muhammad. You will be able to see and meet any and all of your friends and relatives. You will live an eternal life of bliss in paradise.

Reflections:

The benefits mentioned above and many more cannot be purchased with money anywhere in the world. No one is to sell them to you or to advertise them on TV. You have to take the initiative yourself and try to acquire them by accepting Islam first and then by practicing its teachings. You should be honest with yourself, sincere, and truthful to the Creator. You should try wholeheartedly to practice what you believe, regardless of whether someone else is good or not While seeking happiness is a must, it should not be measured with other people's standards or with material gains. Happiness is from its potential to its kinetic forms. People around you should feel your happiness as well as benefit from you.

Are you ready to accept this challenge today? Remember, tomorrow may not come, and it will be too late?

By: Ahmad H. Sakr, Ph.D
Source: www.islamdoor.com
3:41 AM No comments » by dunia kita
Posted in

Wednesday, May 13, 2009


Surat Al-Baqarah 275

Artinya :
Orang-orang yang makan (mengambil) riba [174] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Keterangan
[174]. Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
[175]. Maksudnya: orang yang mengambil riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.
[176]. Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.

Surat Al-Baqarah 276
Artinya :
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah[177]. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa[178].

Keterangan
[177]. Yang dimaksud dengan memusnahkan riba ialah memusnahkan harta itu atau meniadakan berkahnya. Dan yang dimaksud dengan menyuburkan sedekah ialah memperkembangkan harta yang telah dikeluarkan sedekahnya atau melipat gandakan berkahnya.

[178]. Maksudnya ialah orang-orang yang menghalalkan riba dan tetap melakukannya.

Surat Al-Baqarah 277
Artinya :
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Surat Al-Baqarah 278
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.

Surat Al-Baqarah 279
Artinya :
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.

Surat Al-Baqarah 280
Artinya :
Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.

Surat Al-Baqarah 281
Artinya :
Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).

Surah Ali Imran 130
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda[228] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.

Keterangan
[228]. Yang dimaksud riba di sini ialah riba nasi'ah. Menurut sebagian besar ulama bahwa riba nasi'ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda. Lihat selanjutnya no. [174].

Surah An-Nisa 161
Artinya :
Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.

Surah Ar-Ruum 39
Artinya :
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).

Surah Ar-Ruum 135
Artinya :
Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri[229], mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.

[229]. Yang dimaksud perbuatan keji (faahisyah) ialah dosa besar yang mana mudharatnya tidak hanya menimpa diri sendiri tetapi juga orang lain, seperti zina, riba. Menganiaya diri sendiri ialah melakukan dosa yang mana mudharatnya hanya menimpa diri sendiri baik yang besar atau kecil.
12:50 AM No comments » by dunia kita
Posted in

Tuesday, May 12, 2009

Firman Allah :
“Apa yang kamu berikan (pinjaman) dalam bentuk riba agar harta manusia betambah, maka hal itu tidak bertambah di sisi Allah” (QS.ar-Rum : 39)

Menurut pandangan kebanyakan manusia, pinjaman dengan sistem bunga akan dapat membantu ekonomi masyarakat yang pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi rakyat. Anggapan tersebut telah menjadi keyakinan kuat hampir setiap orang, baik ekonom, pemeritah maupun praktisi. Keyakinan kuat itu juga terdapat pada intelektual muslim terdidik yang tidak berlatar belakang pendidikan ekonomi. Karena itu tidak aneh, jika para pejabat negara dan direktur perbankan seringkali bangga melaporkan jumlah kredit yang dikucurkan untuk pengusaha kecil sekian puluh triliun rupiah. Begitulah pandangan dan keyakinan hampir semua manusia saat ini dalam memandang sistem kredit dengan instrumen bunga. Itulah pandangan material (zahir) manusia yang seringkali terbatas.

Pandangan umum di atas dibantah oleh Allah dalam Al-quran surah Ar-Rum : 39, “ Apa “Apa yang kamu berikan (berupa pinjaman) dalam bentuk riba agar harta manusia bertambah, maka hal itu tidak bertambah di sisi Allah” (QS.ar-Rum : 39).
Ayat ini menyampaikan pesan moral, bahwa pinjaman (kredit) dengan sistem bunga tidak akan membuat ekonomi masyarakat tumbuh secara agregat dan adil. Pandangan Al-quran ini secara selintas sangat kontras dengan pandangan manusia kebanyakan. Manusia menyatakan bahwa pinjaman dengan sistem bunga akan meningkatkan ekonomi masyarakat, sementara menurut Allah, pinjaman dengan sistem bunga tidak membuat ekonomi tumbuh dan berkembang, karena riba secara empiris telah menimbulkan dampak buruk bagi perekonomian, khususnya bila ditinjau dari perspektif makro

Harus dicatat, bahwa Al-quran membicarakan riba (bunga) dalam ayat tersebut dalam konteks ekonomi makro, bukan ”hanya” ekonomi mikro. Bahkan sisi ekonomi makro jauh lebih besar. Kesalahan umat Islam selama ini adalah membahas riba dalam konteks ekonomi mikro semata.

Membicarakan riba dalam konteks teori ekonomi makro adalah mengkaji dampak riba terhadap ekonomi masyarakat secara agregat (menyeluruh), bukan individu atau perusahaann (institusi). Sedangkan membicarakan riba dalam lingkup mikro, adalah membahas riba hanya dari sisi hubungan kontrak antara debitur dan kreditur. Biasanya yang dibahas berapa persen bunga yang harus dibayar oleh si A atau perusahaan X selaku debitur kepada kreditur. Juga, apakah bunga yang dibayar debitur sifatnya memberatkan atau menguntungkan. Ini disebut kajian dari perspektif ekonomi mikro.

Padahal dalam ayat, Al-Quran menyoroti praktek riba yang telah sistemik, yaitu riba yang telah menjadi sistem di mana-mana, riba yang telah menjadi instrumen ekonomi, sebagaimana yang diyakini para penganut sistem ekonomi kapitalisme.Dalam sistem kapitalis ini, bunga bank (interest rate) merupakan jantung dari sistem perekonomian. Hampir tak ada sisi dari perekonomian, yang luput dari mekanisme kredit bunga bank (credit system). Mulai dari transaksi lokal pada semua struktur ekonomi negara, hingga perdagangan internasional.

Jika riba telah menjadi sistem yang mapan dan telah mengkristal sedemikian kuatnya, maka sistem itu akan dapat menimbulkan dampak buruk bagi perekonomian secara luas. Dampak sistem ekonomi ribawi tersebut sangat membahayakan perekonomian.

Pertama, Sistem ekonomi ribawi telah banyak menimbulkan krisis ekonomi di mana-mana sepanjang sejarah, sejak tahun 1930 sampai saat ini. Sistem ekonomi ribawi telah membuka peluang para spekulan untuk melakukan spekulasi yang dapat mengakibatkan volatilitas ekonomi banyak negara. Sistem ekonomi ribawi menjadi punca utama penyebab tidak stabilnya nilai uang (currency) sebuah negara. Karena uang senantiasa akan berpindah dari negara yang tingkat bunga riel yang rendah ke negara yang tingkat bunga riel yang lebih tinggi akibat para spekulator ingin memperoleh keuntungan besar dengan menyimpan uangnya dimana tingkat bunga riel relatif tinggi. Usaha memperoleh keuntungan dengan cara ini, dalam istilah ekonomi disebut dengan arbitraging. Tingkat bunga riel disini dimaksudkan adalah tingkat bunga minus tingkat inflasi.

Kedua, di bawah sistem ekonomi ribawi, kesenjangan pertumbuhan ekonomi masyarakat dunia makin terjadi secara konstant, sehingga yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Data IMF menunjukkan bagaimana kesenjangan tersebut terjadi sejak tahun 1965 sampai hari ini.

Ketiga, Suku bunga juga berpengaruh terhadap investasi, produksi dan terciptanya pengangguran. Semakin tinggi suku bunga, maka investasi semakin menurun. Jika investasi menurun, produksi juga menurun. Jika produksi menurun, maka akan meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan.

Keempat, Teori ekonomi makro juga mengajarkan bahwa suku bunga akan secara signifikan menimbulkan inflasi. Inflasi yang disebabkan oleh bunga adalah inflasi yang terjadi akibat ulah tangan manusia. Inflasi seperti ini sangat dibenci Islam, sebagaimana ditulis Dhiayuddin Ahmad dalam buku Al-Quran dan Pengentasan Kemiskinan. Inflasi akan menurunkan daya beli atau memiskinkan rakyat dengan asumsi cateris paribus.

Kelima, Sistem ekonomi ribawi juga telah menjerumuskan negara-negara berkembang kepada debt trap (jebakan hutang) yang dalam, sehingga untuk membayar bunga saja mereka kesulitan, apalagi bersama pokoknya.
Kenam, dalam konteks Indonesia, dampak bunga tidak hanya sebatas itu, tetapi juga berdampak terhadap pengurasan dana APBN. Bunga telah membebani APBN untuk membayar bunga obligasi kepada perbakan konvensional yang telah dibantu dengan BLBI. Selain bunga obligasi juga membayar bunga SBI. Pembayaran bunga yang besar inilah yang membuat APBN kita defisit setiap tahun. Seharusnya APBN kita surplus setiap tahun dalam mumlah yang besar, tetapi karena sistem moneter Indonesia menggunakan sistem riba, maka tak ayal lagi, dampaknya bagi seluruh rakyat Indonesia sangat mengerikan.

Dengan fakta tersebut, maka benarlah Allah yang mengatakan bahwa sistem bunga tidak menumbuhkan ekonomi masyarakat, tapi justru menghancurkan sendi-sendi perekonomian negara, bangsa dan masyarakat secara luas. Itulah sebabnya, maka lanjutan ayat tersebut pada ayat ke 41 berbunyi :”Telah nyata kerusakan di darat dan di laut, karena ulah tangan manusia, supaya kami timpakan kepada mereka akibat dari sebagian perilaku mereka.Mudah-mudahan mereka kembali ke jalan Allah”
Konteks ayat ini sebenarnya berkaitan dengan dampak sistem moneter ribawi yang dijalankan oleh manusia. Kerusakan ekonomi dunia dan Indonesia berupa krisis saat ini adalah akibat ulah tangan manusia yang menerapkan riba yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.

Selanjutnya, dalam membahas dampak riba ini, kita perlu mengutip pendapat Prof. A. M. Sadeq (1989) dalam artikelnya "Factor Pricing and Income Distribution from An Islamic Perspective" yang dipublikasikan dalam Journal of Islamic Economics . Dia menyebutkan bahwa pengharamkan riba dalam ekonomi, setidaknya, disebabkan oleh empat alasan;

Pertama, sistim ekonomi ribawi telah menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat terutama bagi para pemberi modal (bank) yang pasti menerima keuntungan tanpa mau tahu apakah para peminjam dana tersebut memperoleh keuntungan atau tidak. Kalau para peminjam dana mendapatkan untung dalam bisnisnya, maka persoalan ketidakadilan mungkin tidak akan muncul.
Namun, bila usaha bisnis para peminjam modal bankrut, para peminjam modal juga harus membayar kembali modal yang dipinjamkan dari pemodal plus bunga pinjaman. Dalam keadaan ini, para peminjam modal yang sudah bankrut seperti sudah jatuh di timpa tangga pula, dan bukankah ini sesuatu yang sangat tidak adil?

Kedua, sistim ekonomi ribawi juga merupakan penyebab utama berlakunya ketidakseimbangan antara pemodal dengan peminjam. Keuntungan besar yang diperoleh para peminjam yang biasanya terdiri dari golongan industri raksasa (para konglomerat) hanya diharuskan membayar pinjaman modal mereka plus bunga pinjaman dalam jumlah yang relatif kecil dibandingkan dengan milyaran keuntungan yang mereka peroleh.
Padahal para penyimpan uang di bank-bank adalah umumnya terdiri dari rakyat menengah ke bawah. Ini berarti bahwa keuntungan besar yang diterima para konglomerat dari hasil uang pinjamannya tidaklah setimpal dirasakan oleh para pemberi modal (para penyimpan uang di bank) yang umumnya terdiri dari masyarakat menengah ke bawah.

Ketiga, sistim ekonomi ribawi akan menghambat investasi karena semakin tingginya tingkat bunga dalam masyarakat, maka semakin kecil kecenderungan masyarakat untuk berinvestasi. Masyarakat akan lebih cenderung untuk menyimpan uangnya di bank-bank karena keuntungan yang lebih besar diperolehi akibat tingginya tingkat bunga.

Keempat, bunga dianggap sebagai tambahan biaya produksi bagi para businessman yang menggunakan modal pinjaman. Biaya produksi yang tinggi tentu akan memaksa perusahaan untuk menjual produknya dengan harga yang lebih tinggi pula. Melambungnya tingkat harga, pada gilirannya, akan mengundang terjadinya inflasi akibat semakin lemahnya daya beli konsumen. Semua dampak negatif sistim ekonomi ribawi ini secara gradual, tapi pasti, akan mengkeroposkan sendi-sendi ekonomi umat. Krisis ekonomi tentunya tidak terlepas dari pengadopsian sistim ekonomi ribawi seperti disebutkan di atas.
Tak bisa dibantah bahwa sistim ekonomi ribawi akan menggerogoti sendi-sendi ekonomi masyarakat. Hal itu terlihat dengan jelas pada praktek perbankan konvensional yang menganut sistim ribawi. Tingkat bunga dijadikan acuan untuk meraih keuntungan para pemberi modal. Bank tidak mau tahu apakah para peminjam memperoleh keuntungan atau tidak atas modal pinjamannya, yang penting para peminjam harus membayar modal pinjamannya plus bunga pinjaman. Semakin tinggi tingkat bunga dalam sebuah negara, maka semakin tinggi tingkat keuntungan yang diperoleh para pemberi modal dan semakin merusak sendi-sendi ekonomi umat akibat dampak negatif sistim ekonomi ribawi dalam masyarakat.

Demikian pula, akibat terlalu tingginya tingkat bunga yang dibebankan kepada para peminjam, maka semakin sukarnya para peminjam untuk melunasi bunga pinjamannya. Apalagi dalam sistim ekonomi konvensional, biasanya pihak bank tidak terlalu selektif dalam meluncurkan kreditnya kepada masyarakat. Pihak bank tidak mau tahu apakah uang pinjamannya itu digunakan pada sektor-sektor produktif atau tidak, yang penting bagi mereka adalah semua dana yang tersedia dapat disalurkan kepada masyarakat. Sikap bank yang beginilah yang menyebabkan semakin tingginya kredit macet dalam ekonomi akibat semakin menunggaknya hutang peminjam modal yang tidak sanggup dilunasi ketika jatuh tempo kepada pihak bank. Akibatnya, bank-bank akan memiliki defisit dana yang dampaknya sangat mempengaruhi tingkat produksi dalam masyarakat.

Sistem ekonomi ribawi juga menjadi penyebab utama tidak stabilnya nilai uang (currency) sebuah negara. Karena uang senantiasa akan berpindah dari negara yang tingkat bunga riel yang rendah ke negara yang tingkat bunga riel yang lebih tinggi akibat para spekulator ingin memperoleh keuntungan besar dengan menyimpan uangnya dimana tingkat bunga riel relatif tinggi. Usaha memperoleh keuntungan dengan cara ini, dalam istilah ekonomi disebut dengan arbitraging. Tingkat bunga riel disini dimaksudkan adalah tingkat bunga minus tingkat inflasi.
Sebagai contoh, bila tingkat bunga di Indonesia, katakanlah, 12% dengan tingkat inflasi 8 %, maka tingkat bunga riel adalah 4% (12% - 8%). Ini berarti walaupun tingkat bunga nominal (tingkat bunga sebelum dikurangi dengan tingkat inflasi) tinggi di Indonesia, ini tidak secara otomatis akan mempengaruhi investor untuk membeli Rupiah, karena pada dasarnya tingkat bunga riel di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat bunga riel di negara-negara lain.
Inilah penyebab utama semakin menurunnya nilai (depresiasi) Rupiah akibat rendahnya permintaan akan Rupiah. Tinggi rendahnya nilai Rupiah sangat dipengaruhi oleh jumlah permintaan dan penawaran Rupiah di pasar uang. Semakin banyak jumlah permintaan mata uang Rupiah, maka semakin tinggi nilai mata uang Rupiah, dan sebaliknya. Begitu juga dengan penawaran, semakin tingginya jumlah Rupiah yang beredar di pasar, sementara permintaan akan Rupiah rendah, maka nilai rupiah akan menurun, dan sebaliknya.
Sebenarnya, inilah yang sedang berlaku di Indonesia, dimana jangankan businessman asing, para businessman dalam negeripun lebih cenderung membeli Dolar atau mata uang asing lainnya dengan menjual Rupiah di pasar valuta asing. Ini juga bermakna semakin berkurangnya dana asing yang masuk ke Indonesia, ditambah lagi dengan larinya dana dalam negeri ke luar sehingga akan sangat mempengaruhi ketersediaan dana yang memadai sebagai modal pembangunan ekonomi. Hal ini jelas semakin memperparah penurunan nilai mata uang Rupiah dan semakin minimnya dana asing dan lokal yang tersedia untuk pembangunan ekonomi, yang pada gilirannya, akan menyebabkan krisis ekonomi terjadi berkepanjangan.

Memang, harus diakui bahwa semakin rendahnya nilai Rupiah, maka semakin memperkuat daya saing komoditas eksport Indonesia di pasar internasional karena relatif murahnya harga komoditas eksport tersebut di pasar internasional bila dibeli dengan mata uang asing.

Tetapi, penurunan nilai Rupiah ini tidak akan memberi pengaruh signifikan sebab kebanyakan komposisi bahan mentah komoditas eksport Indonesia adalah terdiri dari bahan mentah yang diimport dari negara luar. Dengan kata lain, kenaikan harga barang mentah akibatnya tingginya nilai mata uang (appresiasi) asing jelas akan menyebabkan biaya untuk memproduksikan komoditas eksport tersebut akan bertambah mahal sehingga produk akhir komoditas itu harus dijual dengan harga yang mahal pula. Ini menunjukkan bahwa penurunan nilai Rupiah tidak akan memberi kelebihan daya saing eksport Indonesia di pasar internasional.

Permasalahan di atas, sebenarnya, tidak pernah terjadi kalau sistim ekonomi Islam diadopsi dalam sistim ekonomi negara. Kenapa tidak? Karena nilai uang tidak akan dipengaruhi oleh perbedaan tingkat bunga riel, sebab ekonomi Islam tidak mengenal sistim bunga (riba). Inilah yang menyebabkan nilai uang dalam ekonomi tanpa bunga tidak mengalami volatilitas yang membahayakan.
Di Indonesia, sistem ekonomi ribawi telah menimbulkan dampak yang sangat buruk bagi perekonomian Indonesia. Dana APBN kita setiap tahun dikuras untuk kepentingan membayar bunga dalam jumlah yang besar, baik untuk bunga pinjaman luar negeri, terlebih untuk membayar bunga obligasi rekap kepada bank-bank sistem ribawi.
Besarnya kewajiban pemerintah membayar bunga obligasi kepada bank-bank rekap sangat luar biasa. Pada tahun 2001 saja, bunga obligasi yang harus dibayar APBN sebesar Rp 61,2 Triliyun. Dan ini berlanjut terus setiap tahun sampai sekarang, walaupun cenderung semakin mengecil. Oleh karena beban membayar bunga itu, tidak mengherankan jika APBN kita defisit terus menerus. Pada tahun 2002 APBN defisit Rp 54 triliun. Pada tahun 2003 defisit Rp 45 triliun, pada tahun 2004 difisit Rp 35 triliun. Masih defisitnya APBN tahun 2004 yang lalu , karena dana APBN masih dikuras bunga bank sebesar Rp 68 Trilyun. Bahkan sampai sekarang APBN kita tetap defisit, karena hampir sepertiga dana APBN diperuntukkan bagi pembayaran bunga. Maka, agar negara kita selemat dari ancaman dan dampak riba yang terus menggerogoti APBN, seharusnya bangsa Indonesia sadar untuk kembali kepada penerapan sistem ekonomi syariah.
12:33 PM No comments » by dunia kita
Posted in
Adalah keliru besar, jika ada orang yang mengatakan bahwa ulama saat ini berbeda pendapat tentang hukum bunga bank. Juga sangat keliru pendapat yang membedakan bunga dan riba. Penelitian ilmiah oleh para pakar ekonomi Islam dunia telah menyimpulkan bahwa bunga dan riba benar-benar sama/identik. Bahkan bunga bank yang dipraktekkan saat ini jauh lebih zalim dari riba jahiliyah. Namun, sebagian kalangan masyarakat awam, masih menyangka bahwa persoalan hukum bunga bank masih khilafiyah. Yang dimaksudkan awam dalam hal ini adalah awam dalam ilmu ekonomi dan moneter Islam, meskipun mereka intelektual muslim dalam bidang agama.

Tulisan ini ingin mengetengahkan pembahasan tentang telah terjadinya ijma’ ulama dunia mengenai keharaman bunga bank. Menurut para ulama yang ahli ilmu ekonomi, semua ulama ijma’ tentang keharaman bunga bank. Hal itu tidak diragukan lagi.

Ulama (pakar) yang mengatakan ijma’nya ulama tentang keharaman bunga bank bukan sembarang ulama dan bukan satu dua orang. Mereka adalah para ulama yang ahli ilmu ekonomi yang umumnya mereka sarjana ekonomi Barat. Kapasitas mereka sebagai ilmuwan ekonomi Islam tidak diragukan sedikitpun, karena latar belakang keilmuwan mereka sejak awal adalah ilmu ekonomi konvensional, tetapi mehami syari’ah. Jumlah mereka sangat banyak. Hasil karya intelektual mereka tentang ekonomi Islam yang telah dipublikasikan, sejak tahun 1960-an sampai sekarang, lebih dari 2300-an buah dalam bentuk buku dan tulisan di juornal-juornal ilmiah. Sekedar menyebut sebagian nama-nama mereka antara lain, 1. Prof.Dr.Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqy,2. Prof.Dr.Muhammad Abdul Mannan,MA, 3.Prof.Dr.M.Umer Chapra, 4. Prof.Dr.Masudul Alam Khudary, 5. Prof.Dr. Monzer Kahf, 6. Prof.Dr. M.Akram Khan, 7. Prof.Dr.Kursyid Ahmad, 8.Prof.Dr.Dhiauddin Ahmad, 9. Prof.Dr. Muhammad Muslehuddin, 10.Prof.Dr. Afzalur Rahman, 11. Prof.Dr. Munawar Iqbal Quraisy, 12. Prof.Dr.Hasanuz Zaman, 13. Prof. Dr.M.Sudin Haroen, 14. M.Fahim Khan,.15. Prof.Dr.Volker Ninhaus, 16. Dr.Mustaq Ahmad. 17. Dr.Abbas Mirakhor, 18. Ausaf Ahmad, 19. Rauf Ahmed Azhar, 20. Syed Nawab haidar Naqvi, 21. Baqir al-Sadr, 22. Ahmad Najjar, 23. Ahmad Shalah Janjum (Pakistan), 24. Muhammad Ahmad Sakr, 25 .Kadim Al-Sadr, 26. Abdul Hadi Ghanameh, 27. Manzoor Ali, 28. Dr.Ali Ahmad Rusydi, 29. Dr.Muhammad Ariff, 30. Dr. Zubeir Hasan, 31.Prof.Dr Muhammad Iqbal Anjum, 32. Prof.Dr.Mazhar Islam, 33. Dr. Fariruddin Ahmad, 34. Dr.Syahadat Husein 35.Dr.Badruddin (Oman) 36. Dr.Mabid Ali Al-Jarhi, 37. Prof.Dr.Anas Zarqa, 38. Dr.Muhammad Uzei, 40. Dr.F.R Faridi, 41. Dr.Mahmud Abu Su’ud. 42. Dr.Ijaz Shafi Ghilani, 43. Dr.Sahabuddin Zain, 44. Mukhtar M.Metwally, 45. Dr.Hasan Abu Rukba, 46. Muhammad Hameedullah, 47. B.S Sharraf 48. Dr. Zubair Hasan, 49. Skharur Rafi Khan, 50. Prof. Dr. Mahmud Ahmad.

Masih banyak lagi pakar ekonomi Islam lainnya.-.yang tidak dipaparkan di sini. Semua mereka mengecam dan mengharamkan bunga, baik konsumtif maupun produktif, baik kecil maupun besar, karena bunga telah menimbulkan dampak sangat buruk bagi perekonomian dunia dan berbagai negara. Krisis ekonomi dunia yang menyengsarakan banyak negara yang terjadi sejak tahun 1930 s/d 2000, adalah bukti paling nyata dari dampak sistem bunga.

Karena kesepakatan para pakar ekonomi Islam itulah, maka Prof.Dr.M.Umer Chapra mengatakan bahwa mereka ijma’ tentang keharaman bunga bank. Chapra adalah ahli ekonomi Islam paling terkemuka saat ini dan sangat produktif menulis tema-tema ekonomi Islam. Karena itu ia mendapat Award Faisal dari kerajaan Saudi Arabia, lantaran karya-karyanya yang spektakuler di bidang ekonomi Islam.

Menurut M.Umer Chapra, ulama saat ini sesungguhnya telah ijma’ tentang keharaman bunga bank. Dalam puluhan kali konferensi, muktamar, simposium dan seminar, para ahli ekonomi Islam dunia, Chapra menemukan terwujudnya kesepakatan para ulama tentang bunga bank. Artiya tak satupun para pakar yang ahli ekonomi itu yang mengatakan bunga syubhat atau boleh. Ijma’nya ulama tentang hukum bunga bank dikemukaka Umer Chapra dalam buku The Future of Islamic Econmic,( 2000).

Jadi, dalam penelitian Umer Chapra, tak sartu pun ulama yang ditemuinya membolehkan bunga bank. Dalam merespon pernyataan Umer Chapra tersebut, kita tentu bertanya. Bukankah ada ulama yang membolehkan bunga.? Nah, dalam pandangan Umer Chapra, kalaupun ada tokoh yang membolehkan bunga, misalnya Ahmad Khan (India) pada abad 19. Tokoh itu dinilainya tidak berkapasitas sebagai ahli ekonomi. Dan tak memilki keimuan yang memadai tentang ilmu ekonomi, khususnya ilmu moneter. Sedangkan utntuk memustuskan suatu hukum, haruslah orang itu ahli di bidang hukum yang diputuskannya itu. Demikian pula misalnya Ahmad Hasan dari Indonesia, dia bukanlah seorang ekonom yang faham tentang ilmu moneter dan ekonomi makro atau ekonomi pembangunan. Jadi dalam kerangka pemikiran Umer Chapra segelintir tokoh-tokoh itu, sama sekali tak memilki keimuan yang memadai tentang ilmu moneter dan oleh karena itu pendapat mereka tidak mu’tabar (diakui).

Selain Prof.Dr M.Umer Chapra, ahli ekonomi Islam yang mengatakan ijma’nya ulama tentang keharaman bunga bank adalah Prof.Dr.M.Akram Khan, seorang pakar ekonomi terkemuka dari Pakistan. Sebagai seorang ekonom muslim, beliau melakukan penelitian terhadap pendapat para ahli ekonomi Islam di seluruh dunia. Dalam penelitiannya beliau tidak menemukan ada pakar (ilmuwan) ekonomi Islam yang membolehkan bunga bank.

Sebagaimana Umer Chapra, Prof.Dr..M. Akram juga tidak sembarangan mengatakan ijma’nya ulama tentang bunga bank, kecuali setelah mempejalari pendapat-pendapat para ahli yang diakuinya sebagai ulama kridible dalam bidang ekonomi. Beliau tentu telah membaca ribuan buku tentang ekonomi Islam yang menjadi bidang keahliannya.

Selain pernyataan ahli ekonomi, tokoh ulama yang banyak menekuni ekonomi Islam, yakni Yusuf Qardhawi, juga tak menemukan ada ahli ekonomi Islam yang menghalalkan bunga bank. Meskipun latar belakang keilmuannya bukan sarjana ekonomi seperti tokoh di atas, tetapi Yusuf Qardhawi adalah ulama yang banyak menggeluti dan menulis masalah ekonomi. Kapasitas keilmuamnya tidak diragukan.

Beliau juga mengatakan bahwa ulama telah ijma’ tentang keharaman bunga bank dalam bukunya Fawaid al-Bunuk Hiya ar-Riba Haram (Bunga Bank adalah Haram). Menurut Prof.Dr.Dr.Yusuf Qardhawi, sebanyak 300 ulama dan pakar ekonomi dunia telah ijma’ tentang keharaman bunga bank (Mereka terdiri dari ahli fikih ahli ekonomi dan keuangan dunia). Tak seorang pun yang membantahnya. Kata Yuduf Qardhawi, ”Saya benar-benar menyaksikan, bahwa para ahli ekonomi Islam, Justru lebih bersemangat dari ahli fikih sendiri” (2000, hlm.83)

Selain itu kata Yusuf Qardhawi, ”Telah lahir ijma’ ulama dari berbagai lembaga, pusat penelitian, muktamar, seminar-seminar ahli fikih dan ahli ekonomi Islam yang mengharamkan bunga bank dalam segala bentuknya dan bunga bank itu adalah riba tanpa diragukan sedikitpun. Sedangkan riba adalah haram”.(hlm. 83).

Selanjutnya Qardhawi menuturkan, barangkali keputusan yang dikeluarkan tiga lembaga ilmiah internasional yang sangat kondang dan kredible, telah cukup dijadikan stardart.

1. Lembaga Fikih Islam Organisasi Konferensi Islam (OKI)
2. Lembaga Fikih (Majma’ Al-fiqihi) Rabithah Alam Islami,
3. Pusat Riset Islam (Insitutue of Islamic Research )Al-Azhar Mesir

Selain itu perlu ditambahkan juga bahwa seluruh pusat Riset Ekonomi Islam di dunia yang tersebar di berbagai negara juga sepakat tentang keharaman bunga bank.

Pernyataan mereka bahwa ulama ijma’ tentang keharaman bunga bank, setelah mereka melakukan penelitian yang mendalam tentang pendapat ratusan ahli (pemikir) dan setelah meneliti ribuan buku-buku tentang ekonomi Islam. Ulama sekaliber Yusuf Qardhawi tentu tidak mudah mengatakan suatu masalah telah ijma, kecuali setelah melakukan menelahan yang dalam tentang itu. Demikian pula Umar Chapara dan M.Akram Khan.

Pernyataan Yusuf Qardhawi yang mengatakan ijma’ ulama tentang keharaman bunga bank dikutip dan dikuatkan lagi oleh Prof. Dr Ali Ash-Shobuni (ulama terkemuka dari Mesir) dalam buku Jarimah ar-Riba, Ali Ash-shobuni adalah ahli hukum syari’ah dan Tafsir Ahkam. Ia mengatakan bahwa para ahli ekonomi Islam telah ijma’ tentang keharaman bunga bank. Kesepakatan itu terjadi berkali-kali di forum ulama Internasional sejak tahun 1973 sampai saat ini. Menurutnya, tahun 1976 telah dilaksanakan Konferensi Ekonomi Islam se-dunia di Mekkah yang dihadiri 300 ulama dan pakar keuangan Islam. Tak seorang pun di antara pakar ekonomi Islam itu menolak kaharaman bunga bank. Bahkan sebelum tahun 1976, yakni tahun 1973, seluruh ulama OKI yang berasal dari 44 negara sepakat tentang keharaman bunga bank tersebut.
Harus diakui, adanya segelintir kecil ulama fikih yang meragukan keharaman bunga bank, tidak bisa menggugurkann ijma’ ulama, kata Yusuf Qardhawi.(hlm.84-85) Segelinitir ulama fikih itu (intelektual muslim) tak faham tentang ilmu moneter dan teori teori ekonomi modern, khususnya ekonomi makro. Kapasitas keilmuan mereka tentang moneter dan interest tidak memadai. Mereka malah ada yang tidak mengerti kalau masalah riba termasuk ekonomi makro, apalagi effect riba terhadap inflasi, terhadap investasi, produksi dan tenaga kerja/employment.

Demikian pula segelintir ahli fikih tak memahami bagimana dampak riba terhadap spekuluasi dan volatilitas keuangan suatu negara yang mengakibatkan instabilitas ekonomi dan krisis ekonomi yang dahsyat. Mereka juga belum bisa merumuskan konsep profit and loss sharing secara aplikatif di lembaga keuangan, lengkap dengan ilmu akuntansi dan manajemen keuangannya. Kedangkalan ilmu mereka tentang moneter, ekonomi makro, dll, disebabkan karena mereka bukan berasal dari disiplin ilmu ekonomi dan tak menekuni kajian ekonomi Islam. Maka wajar jika pengetahuan mereka tentang ekonomi moneter sangat terbatas. Kalau tidak ingin mengatakan tidak ada sama sekali. Jadi, makanya ada segelinitir orang yang membolehkan bunga bank karena kedangkalan ilmunya tentang ekonomi moneter. Mereka ini tidak dipandang oleh Prof.Dr. M.Akram dan Umer Chapra sebagai ahli ekonomi, sebab disiplin keilmuan mereka dan kapasitas keilmuan mereka jauh dari ahli ekonomi Islam yang sesungguhnya.

Dengan demikian, tidak ada lagi perbedaan pendapat tentang keharaman bunga bank. Perdebatan tentang halal-haramnya bunga bank telah selesai sekitar 30 tahun yang lalu. Kalau ada ummat Islam masih mempersoalkan hukum bunga bank, berarti ia terlambat 30 tahun.

Kalau pun ada tokoh yang berkomentar tentang kebolehan bunga bank, pastilah mereka bukan ahli dalam ekonomi/moneter Islam, seperti, Gusdur atau Syahrin Harahap di harian Waspada, Syafii Maarif atau Sri Mulyani. Sri Mulyani tidak faham ekonomi syari’ah, Syahrin Harahap, Gusdur dan Syafi’i Maarif tidak berkapasitas dalam ilmu ekonomi. Mereka ahli pemikiran Islam. Karena itu pendapat mereka tidak representatif dijadikan rujukan dalam bidang ekonomi, karena mereka bukan ilmuwan bidang ekonomi, sehingga wajar jika pendapat mereka tertolak dan tidak bisa menggugurkan ijma’ ulama yang ahli di bidangnya. Ahli ekonomi Islam sekaliber Prof. Umer Chapra dan M. Akram yang mengatakan ijma’ ulama tentang leharaman bunga bank secara otomatis tidak memandang pendapat para tokoh-tokoh Indonesia itu sebagai pendapat yang muktabar (diakui). Ulama besar sekaliber Thantawi dari Mesir, tidak berkapasitas dalam ilmu ekonomi moneter, karena (maaf), karena latar belakang keilmuannya bukan ilmu ekonomi dan ia sendiri tidak mendalami ilmu ekonomi Islam.

Kalau kita mau berpikir logis, kita harus menyerahkan persoalan hukum moneter kepada ahlinya. Analoginya, jika seluruh dokter spesialis kulit telah sepakat tentang jenis penyakit kulit seseorang, lalu ada segelintir dokter gigi membantahnya, maka sangat aneh bila orang mengikut pendapat dokter gigi yang tak ahli di bidang kulit. Pendapat dokter gigi itu tertolak, sangat aneh dan amat menyesatkan.
Penutup

Mudah-mudahan tulisan ini dapat menambah informasi dan keyakinan yang kuat kepada pembaca bahwa tidak ada perbedaan pendapat tentang keharaman bunga bank, karena ternyata seluruh ulama dunia telah ijma’ tentang keharaman bunga bank. Terakhir perlu ditegaskan bahwa pernyataan telah terciptanya ijma’ ini bukan pendapat penulis saja, tetapi pendapat para peneliti kawakan, para ahli ekonomi Islam yang tak diragukan lagi validitas riset mkereka dalam bidang ini. Uraian dan argumentasi detail yang ilmiah (melalui pendekatan ilmu ekonomi) tentang keharaman bunga bank tidak dijelaskna di artikel ringkas ini, karena membutuhkan kajian yang panjang dan lembaran yang banyak. Sekian terima kasih.

Oleh : Drs.Agustianto,M.Ag
Penulis adalah Kandidat Doktor Ekonomi Islam UIN Jakarta dan Sekjend Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia)
12:28 PM No comments » by dunia kita
Posted in

Monday, May 11, 2009

Daya Tarik Deposito

Ketika didirikan, bank-bank Islam yang beroperasi di Negara yang menerapkan sistem campuran (islami-konvensional) sepenuhnya mengandalkan daya tarik keagamaan untuk memperoleh laba. Penekanan pada daya tarik keagamaan ini terus berlanjut. Satu contoh, Said (1995) melaporkan bahwa Faisal Islamic Bank of Egypt (FIBE) sukses menarik hati kaum muslim, terutama yang meyakini keharaman bunga, untuk mendepositokan dana mereka. Untuk menarik minat nasabah di tengah pasar keuangan yang semakin kompetitif, FIBE menggunakan beberapa cara :

Merekrut ulama untuk menyiarkan pelarangan bunga dan menyatakan keharamannya, dan bahwa laba yang halal dapat diperoleh dengan mendepositokan dana di bank-bank Islam.Menekankan kewajiban agama dengan cara menghimpun dan mendistribusikan zakat.

Mengadakan berbagai seminar dan konferensi untuk menyebarkan manfaat perbankan Islam.

Meminimalisasi setiap potensi ancaman terhadap raison d’etre yaitu adanya informasi heterogen dan berbiaya mahal dalam transaksi keuangan; dengan memanfaatkan ulama pendukung dan media massa, misalnya ketika Mufti-alThanthawi memfatwakan kehalalan bunga atas sertifikat investasi.
  • Menawarkan berbagai fasilitas perbankan modern seperti ATM (Anjungan Tunai Mandiri) dan layanan perbankan modern mempergunakan perangkat teknologi komputer terbaru dalam setiap operasi perbankan.

    Memberikan kepada para deposan laba yang dapat bersaing dengan bunga dari bank-bank konvensional.

    Meskipun semua langkah itu relevan, dua upaya terakhir mutlak dilakukan. Saat ini, pasar sudah tidak lagi dalam masa pertumbuhan dan bank Islam tidak bisa menerima nasabah apa adanya. Ada banyak lembaga keuangan, termasuk bank-bank ala Barat, yang bersaing dengan bank-bank Islam murni melalui ”jendela-jendela” Islami. Dan, pengalaman pasar modal mengajarkan bahwa perolehan laba dan margin laba menurun ketika muncul institusi keuangan baru. Misalnya, sekuritisasi dan masuknya para penyedia hipotek independen ke pasar pembiayaan perumahan konvensional menyebabkan turunnya margin laba sebesar lebih dari satu poin persen (100 poin dasar) di Amerika Serikat, Inggris dan Australia.

    Ada beberapa studi yang telah dilakukan mengenai faktor-faktor yang mendorong diberikannya perlindungan kepada bank Islam dan bank konvensional : Erol dan El-Bdour (1989) dan Erol, Kaynak dan El-Bdour (1990) untuk penelitian di Yordania; Haron, Ahmad dan Planisek (1994) untuk Malaysia; sedangkan Gerrard dan Cunningham (1997) menganalisis pengetahuan masyarakat tentang perbankan Islam di Singapura. Hasil penting studi ini adalah: pertama, agama tidak muncul sebagai motif utama yang mendorong orang untuk mempergunakan jasa bank Islam. Kedua, semua studi itu menunjukkan bahwa efisiensi menjadi faktor utama, karena orang-orang menginginkan transaksi mereka diselesaikan secepat dan seefisien mungkin. Di sinilah pentingnya penerapan teknologi yang efisien. Ketiga, para nasabah bank Islam berorientasi pada laba dan berharap bahwa bank pilihannya sama atau bahkan lebih menguntungkan dibanding bank konvensional.
  • 10:15 PM No comments » by dunia kita
    Posted in

    Search

    Bookmark Us

    Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter