Dewasa
ini lembaga keuangan berlabel syari’at berkembang dalam skala besar dengan
menawarkan produk-produknya yang beraneka ragam dengan istilah-istilah
berbahasa Arab. Banyak masyarakat yang masih bingung dengan
istilah-istilah tersebut dan masih ragu apakah benar semua produk tersebut
adalah benar-benar jauh dari pelanggaran syari’at ataukah hanya rekayasa
semata.
Melihat
banyaknya pertanyaan seputar ini maka dalam rubrik fikih kali ini kami angkat
salah satu produk tersebut untuk melihat kehalalannya dalam tinjauan fikih
islami.
Jual
beli Murabahah (Bai’ al-Murabahah) demikianlah istilah yang banyak
diusung lembaga keuangan tersebut sebagai bentuk dari Financing (pembiayaan)
yang memiliki prospek keuntungan yang cukup menjanjikan. Sehingga semua atau
hampir semua lembaga keuangan syari’at menjadikannya sebagai produk financing
dalam pengembangan modal mereka [1]
Nama
lain Jual Beli Murabahah ini
Jual
beli Murabahah yang dilakukan lembaga keuangan syari’at ini dikenal dengan
nama-nama sebagai berikut:
- al-Murabahah lil Aamir bi Asy-Syira’
- al-Murabahah lil Wa’id bi Asy-Syira’
- Bai’ al-Muwa’adah
- al-Murabahah al-Mashrafiyah
- al-Muwaa’adah ‘Ala al-Murabahah. [2]
Sedangkan
di negara Indonesia dikenal dengan jual beli Murabahah atau Murabahah Kepada
Pemesanan Pembelian (KPP) [3]
Definisi
Jual-Beli Murabahah (Deferred Payment Sale)
Kata
al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu
(الرِبْحُ) yang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan) [4] Sedangkan dalam
definisi para ulama terdahulu adalah jual beli dengan modal ditambah keuntungan
yang diketahui. [5] Hakekatnya adalah menjual barang dengan harga (modal)
nya yang diketahui kedua belah transaktor (penjual dan pembeli) dengan
keuntungan yang diketahui keduanya. Sehingga penjual menyatakan modalnya adalah
seratus ribu rupiah dan saya jual kepada kamu dengan keuntungan sepuluh ribu
rupiah.
Syeikh
Bakr Abu Zaid menyatakan: (Inilah pengertian yang ada dalam pernyataan mereka:
Saya menjual barang ini dengan sistem murabahah… rukun akad ini adalah
pengetahuan kedua belah pihak tentang nilai modal pembelian dan nilai
keuntungannya, dimana hal itu diketahui kedua belah pihak maka jual belinya
shohih dan bila tidak diketahui maka batil. Bentuk jual beli Murabahah seperti
ini adalah boleh tanpa ada khilaf diantara ulama, sebagaimana disampaikan ibnu
Qudaamah [6], bahkan Ibnu Hubairoh [7] menyampaikan ijma’ dalam hal itu
demikian juga al-Kaasaani [8].) [9]
Inilah
jual beli Murabahah yang ada dalam kitab-kitab ulama fikih terdahulu. Namun
jual beli Murabahah yang sedang marak di masa ini tidaklah demikian bentuknya.
Jual beli Murabahah sekarang berlaku di lembaga-lembaga keuangan syari’at lebih
komplek daripada yang berlaku dimasa lalu [10]. Oleh karena itu para ulama
kontemporer dan para peneliti ekonomi islam memberikan definisi berbeda
sehingga apakah hukumnya sama ataukah berbeda?
Diantara
definisi yang disampaikan mereka adalah:
- Bank melaksanakan realisai permintaan orang yang bertransaksi dengannya dengan dasar pihak pertama (Bank) membeli yang diminta pihak kedua (nasabah) dengan dana yang dibayarkan bank –secara penuh atau sebagian- dan itu dibarengi dengan keterikatan pemohon untuk membeli yang ia pesan tersebut dengan keuntungan yang disepakati didepan (diawal transaksi). [11]
- Lembaga keuangan bersepakat dengan nasabah agar lembaga keuangan melakukan pembelian barang baik yang bergerak (dapat dipindah) atau tidak. Kemudian nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan tersebut setelah itu dan lembaga keuangan itupun terikat untuk menjualnya kepadanya. Hal itu dengan harga didepan atau dibelakang dan ditentukan nisbat tambahan (profit) padanya atas harga pembeliaun dimuka. [12]
- Orang yang ingin membeli barang mengajukan permohonan kepada lembaga keuangan, karena ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayar kontan nilai barang tersebut dan karena penjual (pemilik barang) tidak menjualnya secara tempo. Kemudian lembaga keuangan membelinya dengan kontan dan menjualnya kepada nasabah (pemohon) dengan tempo yang lebih tinggi. [13]
- Ia adalah yang terdiri dari tiga pihak; penjual, pembeli dan bank dengan tinjauan sebagai pedagang perantara antara penjual pertama (pemilik barang) dan pembeli. Bank tidak membeli barang tersebut disini kecuali setelah pembeli menentukan keinginannya dan adanya janji memberi dimuka. [14]
Definis-definisi
diatas cukup jelas memberikan gambaran jual beli murabahah KPP ini.
Bentuk
Gambarannya
Dari
definisi diatas dan praktek yang ada di lingkungan lembaga keuangan syariat
didunia dapat disimpulkan ada tiga bentuk:
1.
Pelaksanaan janji yang mengikat dengan kesepakatan antara dua pihak
sebelum lembaga keuangan menerima barang dan menjadi miliknya dengan
menyebutkan nilai keuntungannya dimuka [15]. Hal itu dengan datangnya nasabah
kepada lembaga keuangan memohon darinya untuk membeli barang tertentu dengan
sifat tertentu. Keduanya bersepakat dengan ketentuan lembaga keuangan terikat
untuk membelikan barang dan nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga
keuangan tersebut. Lembaga keuangan terikat harus menjualnya kepada nasabah
dengan nilai harga yang telah disepakati keduanya baik nilai ukuran, tempo dan
keuntungannya. [16]
2.
Pelaksanaan janji (al-Muwaa’adah) tidak mengikat pada kedua belah
pihak. Hal itu dengan ketentuan nasabah yang ingin membeli barang tertentu,
lalu pergi ke lembaga keuangan dan terjadi antara keduanya perjanjian dari
nasabah untuk membeli dan dari lembaga keuangan untuk membelinya. Janji ini
tidak dianggap kesepakatan sebagaimana juga janji tersebut tidak mengikat pada
kedua belah pihak. Bentuk gambaran ini bisa dibagi dalam dua keadaan:
a.
Pelaksanaan janji tidak mengikat tanpa ada penentuan nilai keuntungan dimuka.
b. Pelaksanaan janji tidak mengikat dengan adanya penentuan nilai keuntungan yang akan diberikannya. [17]
b. Pelaksanaan janji tidak mengikat dengan adanya penentuan nilai keuntungan yang akan diberikannya. [17]
3.
Pelaksanaan janji mengikat lembaga keuangan tanpa nasabah. Inilah yang
diamalkan di bank Faishol al-Islami di Sudan. Hal itu dengan ketentuan akad
transaksi mengikat bank dan tidak mengikat nasabah sehingga nasabah memiliki
hak Khiyar (memilih) apabila melihat barangnya untuk menyempurnakan transaksi
atau menggagalkannya. [18]
Pernyataan
para Ulama terdahulu tentang Jenis jual beli ini
Permasalahan
jual belia murabahah KPP ini sebenarnya bukanlah perkara kontemporer dan baru
(Nawaazil) namun telah dijelaskan para ulama terdahulu. Berikut ini sebagian
pernyataan mereka:
Imam
As-Syafi’i menyatakan: Apabila seorang menunjukkan kepada orang lain satu
barang seraya berkata: Belilah itu dan saya akan berikan keuntungan padamu
sekian. Lalu ia membelinya maka jual belinya boleh dan yang menyatakan: Saya akan
memberikan keuntungan kepadamu memiliki hak pilih (khiyaar), apabila ia
ingin maka ia akan melakukan jual-beli dan bila tidak maka ia akan tinggalkan.
Demikian juga jika ia berkata: ‘Belilah untukku barang tersebut’. Lalu ia
mensifatkan jenis barangnya atau ‘barang’ jenis apa saja yang kamu sukai dan
saya akan memberika keuntungan kepadamu’, semua ini sama. Diperbolehkan pada
yang pertama dan dalam semua yang diberikan ada hak pilih (khiyaar).
Sama juga dalam hal ini yang disifatkan apabila menyatakan: Belilah dan aku
akan membelinya darimu dengan kontan atau tempo. Jual beli pertamam
diperbolehkan dan harus ada hak memilih pada jual beli yang kedua. Apabila
keduanya memperbaharui (akadnya) maka boleh dan bila berjual beli dengan itu
dengan ketentuan adanya keduanya mengikat diri (dalam jual beli tersebut) maka
ia termasuk dalam dua hal:
1.
Berjual beli sebelum penjual memilikinya.
2. Berada dalam spekulasi (Mukhathorah). [19]
2. Berada dalam spekulasi (Mukhathorah). [19]
Imam
ad-Dardier dalam kitab asy-Syarhu ash-Shaghir 3/129 menyatakan: al-’Inah
adalah jual beli orang yang diminta darinya satu barang untuk dibeli dan
(barang tersebut) tidak ada padanya untuk (dijual) kepada orang yang memintanya
setelah ia membelinya adalah boleh kecuali yang minta menyatakan: Belilah
dengan sepuluh secara kontan dan saya akan ambil dari kamu dengan dua belas
secara tempo. Maka ia dilarang padanya karena tuduhan (hutang yang menghasilkan
manfaat), karena seakan-akan ia meminjam darinya senilai barang tersebut untuk
mengambil darinya setelah jatuh tempo dua belas. [20]
Jelaslah
dari sebagian pernyataan ulama fikih terdahulu ini bahwa mereka menyatakan
pemesan tidak boleh diikat untuk memenuhi kewajiban membeli barang yang telah
dipesan. Demikian juga the Islamic Fiqih Academy (Majma’ al-Fiqih al-Islami)
menegaskan bahwa jual beli muwaada’ah yang ada dari dua pihak dibolehkan
dalam jual beli murabahah dengan syarat al-Khiyaar untuk kedua
transaktor seluruhnya atau salah satunya. Apa bila tidak ada hak al-Khiyaar
di sana maka tidak boleh, karena al-Muwaa’adah yang mengikat (al-Mulzamah)
dalam jual beli al-Murabahah menyerupai jual beli itu sendiri, dimana
disyaratkan pada waktu itu penjual telah memiliki barang tersebut hingga tidak
ada pelanggaran terhadap larangan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang seorang menjual yang tidak dimilikinya. [21]
Syeikh
Abdul Aziz bin Baaz ketika ditanya tentang jual beli ini menjawab: Apabila
barang tidak ada di pemilikan orang yang menghutangkannya atau dalam
kepemilikannya namun tidak mampu menyerahkannya maka ia tidak boleh menyempurnakan
akad transaksi jual belinya bersama pembeli. Keduanya hanya boleh bersepakat
atas harga dan tidak sempurna jual beli diantara keduanya hingga barang
tersebut dikepemilikan penjual. [22]
Hukum
Bai’ Murabahah dengan pelaksanaan janji yang tidak mengikat (Ghairu
al-Mulzaam)
Telah
lalu bentuk kedua dari murabahah dengan pelaksanaan janji yang tidak mengikat
ada dua:
- Pelaksanaan janji tidak mengikat tanpa ada penentuan nilai keuntungan dimuka. Hal ini yang rojih adalah boleh dalam pendapat madzhab Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah. Hal itu karena tidak ada dalam bentuk ini ikatan kewajiban menyempurnakan janji untuk bertransaksi atau penggantian ganti kerugian. Seandainya barang tersebut hilang atau rusak maka nasabah tidak menanggungnya. Sehingga lembaga keuangan tersebut bersepekulasi dalam pembelian barang dan tidak yakin nasabah akan membelinya dengan memberikan keuntungan kepadanya. Seandainya salah satu dari keduanya berpaling dari keinginannya maka tidak ada ikatan kewajiban dan tidak ada satupun akibat yang ditanggungnya. [23]
- Pelaksanaan janji tidak mengikat dengan adanya penentuan nilai keuntungan yang akan diberikannya, maka ini dilarang karena masuk dalam kategori al-’Inah sebagaimana disampaikan Ibnu Rusyd dalam kitabnya al-Muqaddimah dan inilah yang dirojihkan Syeikh Bakr Abu Zaid. [24]
Hukum
Ba’i Murabahah dengan pelaksanaan janji yang mengikat
Untuk
mengetahui hukum ini maka kami sampaikan beberapa hal yang berhubungan langsung
dengannya.
Langkah
proses Murabahah KPP bentuk ini
Mu’amalah
jual beli murabahah KPP melalui beberapa langkah tahapan, diantara yang
terpenting adalah:
1.
Pengajuan permohonan nasabah untuk pembiayaan pembelian barang.
a. Penentuan pihak yang berjanji untuk membeli barang yang diinginkan dengan sifat-sifat yang jelas.
b. Penentuan pihak yang berjanji untuk membeli tentang lembaga tertentu dalam pembelian barang tersebut.
a. Penentuan pihak yang berjanji untuk membeli barang yang diinginkan dengan sifat-sifat yang jelas.
b. Penentuan pihak yang berjanji untuk membeli tentang lembaga tertentu dalam pembelian barang tersebut.
2.
Lembaga keuangan mempelajari formulir atau proposal yang diajukan nasabah.
3. Lembaga keuangan mempelajari barang yang diinginkan.
3. Lembaga keuangan mempelajari barang yang diinginkan.
4.
Mengadakan kesepakatan janji pembelian barang.
a. Mengadakan perjanjian yang mengikat.
b. Membayar sejumlah jaminan untuk menunjukkan kesungguhan pelaksanaan janji.
c. Penentuan nisbat keuntungan dalam masa janji.
d. Lembaga keuangan mengambil jaminan dari nasabah ada masa janji ini.
a. Mengadakan perjanjian yang mengikat.
b. Membayar sejumlah jaminan untuk menunjukkan kesungguhan pelaksanaan janji.
c. Penentuan nisbat keuntungan dalam masa janji.
d. Lembaga keuangan mengambil jaminan dari nasabah ada masa janji ini.
5.
Lembaga keuangan mengadakan transaksi dengan penjual barang (pemilik pertama).
6. Penyerahan dan kepemilikan barang oleh lembaga keuangan.
6. Penyerahan dan kepemilikan barang oleh lembaga keuangan.
7.
Transaksi lembaga keuangan dengan nasabah.
a. Penentuan harga barang.
b. Penentuan biaya pengeluaran yang memungkinkan untuk dimasukkan kedalam harga.
c. Penentuan nisbat keuntungan (profit).
d. Penentuan syarat-syarat pembayaran.
e. Penentuan jaminan-jaminan yang dituntut.
a. Penentuan harga barang.
b. Penentuan biaya pengeluaran yang memungkinkan untuk dimasukkan kedalam harga.
c. Penentuan nisbat keuntungan (profit).
d. Penentuan syarat-syarat pembayaran.
e. Penentuan jaminan-jaminan yang dituntut.
Demikianlah
secara umum langkah proses jual beli Murabahah KPP yang kami ambil secara bebas
dari kitab al-’Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal. 261-162. sedangkan
dalam buku Bank Syari’at dari Teori ke Praktek hal. 107 memberikan skema
bai’ Murabahah sebagai berikut:
Aqad
ganda (Murakkab) dalam Murabahah KPP bentuk ini. [25]
Dari
keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa jual beli murabahah KPP ini terdiri
dari:
1.
Ada tiga pihak yang terkait yaitu:
a. Pemohon atau pemesan barang dan ia adalah pembeli barang dari lembaga keuangan.
b. Penjual barang kepada lembaga keuangan.
c. Lembaga keuangan yang memberi barang sekaligus penjual barang kepada pemohon atau pemesan barang.
a. Pemohon atau pemesan barang dan ia adalah pembeli barang dari lembaga keuangan.
b. Penjual barang kepada lembaga keuangan.
c. Lembaga keuangan yang memberi barang sekaligus penjual barang kepada pemohon atau pemesan barang.
2.
Ada dua akad transaksi yaitu:
a. Akad dari penjual barang kepada lembaga keuangan.
b. Akad dari lembaga keuangan kepada pihak yang minta dibelikan (pemohon).
a. Akad dari penjual barang kepada lembaga keuangan.
b. Akad dari lembaga keuangan kepada pihak yang minta dibelikan (pemohon).
3.
Ada tiga janji yaitu:
a. Janji dari lembaga keuangan untuk membeli barang.
b. Janji mengikat dari lembaga keuangan untuk membali barang untuk pemohon.
c. Janji mengikat dari pemohon (nasabah) untuk membeli barang tersebut dari lembaga keuangan.
a. Janji dari lembaga keuangan untuk membeli barang.
b. Janji mengikat dari lembaga keuangan untuk membali barang untuk pemohon.
c. Janji mengikat dari pemohon (nasabah) untuk membeli barang tersebut dari lembaga keuangan.
Dari
sini jelaslah bahwa jual beli murabahah KPP ini adalah jenis akad berganda (al-’Uquud
al-Murakkabah) yang tersusun dari dua akad, tiga janji dan ada tiga
pihak. Setelah meneliti muamalah ini dan langkah prosesnya akan tampak jelas
ada padanya dua akad transaksi dalam satu akad transaksi, namun kedua akad
transaksi ini tidak sempurna prosesnya dalam satu waktu dari sisi kesempurnaan
akadnya, karena keduanya adalah dua akad yang tidak diikat oleh satu akad. Bisa
saja disimpulkan bahwa dua akad tersebut saling terkait dengan satu sebab yaitu
janji yang mengikat dari kedua belah pihak yaitu lembaga keuangan dengan
nasabahnya.
Berdasarkan
hal ini maka jual beli ini menyerupai pensyaratan akad dalam satu transaksi
dari sisi yang mengikat sehingga dapat dinyatakan dengan uangkapan: Belkan
untuk saya barang dan saya akan berikan untung kamu dengan sekian.
Hal
ini karena barang pada akad pertama tidak dimiliki oleh lembaga keuangan, namun
akan dibeli dengan dasar janji mengikat untuk membelinya. Dengan melihat kepada
muamalah ini dari seluruh tahapannya dan kewajiban-kewajiban yang ada padanya
jelaslah bahwa ini adalah Mu’amalah Murakkabah secara umum dan juga
secara khusus dalam tinjauan kewajiban yang ada dalam muamalah ini. Berbeda
dengan Murabahah yang tidak terdapat janji yang mengikat (Ghairu al-Mulzaam)
yang merupakan akad yang tidak saling terikat, sehingga jelas hukumnya berbeda.
Hukumnya
Yang
rojih dalam masalah ini adalah tidak boleh dengan beberapa argumen di
antaranya:
a.
Kewajiban mengikat dalam janji pembelian sebelum kepemilikan penjual
barang tersebut masuk dalam larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjual barang yang belum dimiliki. Kesepakatan tersebut pada
hakekatnya adalah akad dan bila kesepakatan tersebut diberlakukan maka ini
adalah akad batil yang dilarang, karena lembaga keuangan ketika itu menjual
kepada nasabah sesuatu yang belum dimilikinya.
b.
Muamalah seperti ini termasuk al-Hielah (rekayasa) atas hutang
dengan bunga, karena hakekat transaksi adalah jual uang dengan uang lebih besar
darinya secara tempu dengan adanya barang penghalal diantara keduanya.
c.
Murabahah jenis ini masuk dalam larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam hadits yang berbunyi:
نَهَى
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي
بَيْعَةٍ
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari dua transaksi jual beli dalam satu
jual beli (HR at-Tirmidzi dan dishohihkan
al-Albani dalam Irwa’ al-Gholil 5/149)
Al-Muwaa’adah apabila mengikat kedua belah pihak maka menjadi aqad
(transaksi) setelah sebelumnya hanya janji, sehingga ada disana dua akad dalam
satu jual beli. [26]
Ketentuan
diperbolehkannya
Syeikh
Bakar bin Abdillah Abu Zaid menjelaskan ketentuan diperbolehkannya jual beli
murabahah KPP ini dengan menyatakan bahwa jual beli Muwaa’adah diperbolehkan
dengan tiga hal:
- Tidak terdapat kewajiban mengikat untuk menyempurnakan transaksi baik secara tulisan ataupun lisan sebelum mendapatkan barang dengan kepemilikan dan serah terima.
- Tidak ada kewajiban menanggung kehilangan dan kerusakan barang dari salah satu dari dua belah pihak baik nasabah atau lembaga keuangan, namun tetap kembali menjadi tanggung jawab lembaga keuangan.
- Tidak terjadi transaksi jual beli kecuali setelah terjadi serah terima barang kepada lembaga keuangan dan sudah menjadi miliknya. [27]
Demikianlah
hukum jual beli ini menurut pendapat ulama syari’at, mudah-mudahan dapat
memperjelas permasalahan ini. Wabillahi Taufiq.
***
Penulis:
Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel www.ekonomisyariat.com
Artikel www.ekonomisyariat.com
Footnotes:
[1]
Lihat al-Bunuuk al-Islamiyah Baina an-Nazhoriyah wa at-Tathbiiq, Prof.
DR. Abdullah Ath-Thoyaar hal. 307.
[2]
Kelima nama ini disebutkan dalam al-’Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal
260-261.
[3]
Lihat Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, Muhammad Syafi’I Antonio, hal
103.
[4]
Lihat al-Qaamus al-Muhith hal. 279.
[5]
Al-’Uquud al-Murakkabah hal 257.
[6]
Al-Mughni 4/259
[7]
Al-Ifashoh 2/350 dinukil dari Fiqhu an-Nawaazil, Bakr bin
Abdillah Abu Zaid 2/64.
[8]
Bada’i ash-Shanaa’i 7/92
[9]
Fiqhu an-Nawaazil, Bakr bin Abdillah Abu Zaid 2/64.
[10]
Penulis pernah melakukan dialog tentang hal ini dengan dua orang pegawai salah
satu lembaga keuangan syari’at di kediaman penulis pada hari Kamis tanggal 3
april 2008 M ba’da Ashar.
[11]
Bai’ al-Murabahah lil Aamir bi asy-Syira’ karya Saami Hamud dalam
kumpulan Majalah Majma’ al-Fiqh al-Islami edisi kelima (2/1092) dinukil dari
al-’Uquud al-Maaliyah al-Murakkabah hal. 257.
[12]
Lihat Bai’ al-Murabahah Kamaa Tajriha al-Bunuuk al-Islamiyah Muhammad
al-Asyqar hal. 6-7 dinukil dari al-’Uquud al-maaliyah al-Murakabah hal. 257.
[13]
al-’Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal 258.
[14]
Ibid
[15]
Fikih Nawazil 2/90.
[16]
al-’Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal 259.
[17]
Lihat Fikih Nawazil 2/90 dan al-’Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal 259.
[18]
Lihat al-Bunuuk al-Islamiyah Baina an-Nazhoriyah wa at-Tathbiiq hal.
308.
[19]
Lihat al-Umm dan ini kami nukil dari Fikih Nawazil 2/88-89.
[20]
Dinukil dari Fikih Nawazil 2/88.
[21]
Lihat al-’Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal. 267.
[22]
Majalah al-Jami’ah al-Islamiyah edisi satu tahun kelima Rajab 1392 hal
118 dinukil dari al-Bunuuk al-Islamiyah hal. 308.
[23]
Lihat Fikih Nawazil 2/90.
[24]
ibid
[25]
Lihat al-’Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal. 265-266
[26]
Untuk lebih lengkapnya silahkan merujuk pada kitab al-’Uqud al-Maaliyah
al-Murakkabah hal 267-284 dan Fikih Nawazil 2/ 83-96.
[27]
Fikih Nawazil 2/97 dengan sedikit perubahan.
Referensi:
- al-’Uqud al-Maaliyah al-Murakkabah –dirasah Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyah-, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdullah al-’Imraani, cetakan pertama tahun 1427 H, Kunuz Isybiliya`
- Fiqhu an-Nawaazil –Qadhaya Fiqhiyah al-Mu’asharah-, DR. Bakr bin ABdillah abu Zaid, cetakan pertama tahun 1416 H, Muassasah ar-Risalah.
- al-Bunuuk al-Islamiyah Baina an-Nazhoriyah wa at -Tathbiiq, Prof. DR. Abdullah Ath-Thoyaar, cetakan kedua tahun 1414 H , Dar al-Wathon.
- Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Muhammad Syafi’I Antonio, cetakan kesembilan tahun 2005 M, Gema Insani Press.
- Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI, edisi revisi tahun 2006 M, cetakan ketiga tahun 1427 H.
- al-Fiqhu al-Muyassar-Qismu al-Mu’amalaat- Prof. DR. Abdullah Ath-Thoyaar, prof. DR. Abdulah bin Muhammad al-Muthliq dan DR. Muhammad bin Ibrohim Al Musa, cetakan pertama tahun 1425 H , Dar al-Wathon.
- dll.